Jumat, 02 September 2016

Ini Kisah Tiga Dara (review)

Film 'Ini Kisah Tiga Dara' merupakan film yang terinspirasi dari sebuah film drama musikal karya Usmar Ismail di tahun 1956 yang berjudul 'Tiga Dara'. Nia Dinata sebagai sutradara dan penulisan skenario bersama Lucky Kuswandi mampu memasukkan sebuah keadaan yang boleh dibilang memang ada dan benar-benar terjadi di masyarakat kita saat ini dengan sangat halus. Mulai dari keadaan sosial sampai ke hubungan lintas generasi dalam keluarga.

Film musikal adalah film yang ada adegan-adegan pemainnya bernyanyi dan menari ketika mengekspresikan emosi karakter-karakternya.

Film ini bercerita tentang kehidupan tiga orang kakak beradik Gendis(Shanty), Ella (Tara Basro) dan Bebe(Tatyana Akman) yang tinggal  bersama Oma mereka(Titiek Puspa).  Sementara ayah mereka sibuk dengan pekerjaannya.

Terasa musikalnya film ini sudah langsung hadir di adegan pertama ketika Gendis, Ella dan Bebe naik taksi untuk pulang ke rumah mereka. Keadaan Jakarta macet yang tidak bisa bergerak padahal rumah sudah dekat. Daaan, mereka pun bernyanyi dan menari untuk mengekspresikan emosi mereka. Dan juga saat Oma merasa bahwa cucu-cucunya ternyata sudah tidak kecil lagi ketika dia melihat koleksi foto saat mereka masih kecil.

Sebelum pindah ke Maumere untuk menjalankan bisnis hotel, kakak beradik ini menggelar dagangannya di rumah mereka. Disitu aku melihat para perempuan mandiri, mengatur bisnis mereka sendiri. Sebuah hal yang lumrah di jaman sekarang. Tapi mungkin saja keadaan sosial itu berbeda ketika film yang aslinya diputar pada tahun 1956.
Di bagian ini karakter Oma yang ingin terbaik untuk cucu-cucunya menurut versinya mulai terlihat. Mungkin sebuah perasaan gengsi atau iri atau apapun itu ketika Oma bercengkrama dengan teman-teman sebaya Oma dan mendengar bahwa cucu mereka ada yang sudah menikah dan menimang anak. Dan keadaan itulah yang menurutku dijadikan Oma menginginkan cucu pertamanya untuk segera menikah.

Akting dari para artisnya sesuai porsinya masing-masing. Dan karakter tokoh-tokohnya pun dapat.

Konflik antar karakter dan kehidupan sosial yang terjadi saat ini mampu diblend oleh sutradara dengan sangat sangat smooth. Misalnya, saat mereka bernyanyi dan menceritakan bahwa tradisi yang ribet ketika orang akan menikah. Lalu ketika Gendis dan Yudha berpapasan di pasar. Melalui percakapan dua tokoh itu, sutradara menggambarkan bagaimana amannya kondisi di Maumere ketika Gendis tidak mengunci mobilnya ketika parkir.  Atau ketika tiga dara ngobrol bersama Oma, lalu mereka pun bernyanyi untuk menggambarkan bagaimana sosok matriarki Oma. Dan banyak lagi. Hal-hal tersebut yang membuatku menilai kalau film ini sangat-sangat bagus.

Terakhir untuk iklan. Porsi iklannya pas menurutku. Sutradara mampu memasukkannya dengan smooth.

Ini kisah tiga dara bisa jadi jawaban untuk orang-orang yang mencari film Indonesia yang bagus.
4,8/5.