"Jancook !! Dasar orang munafik, asuu !" Lukman marah. Dilemparkannya peci hitam yang sedang dipakainya dengan keras ke kursi. Tak lama kemudian kursi itu didudukinya.
"Ada apa ada apa ? yang tenang dong. Surya dulu lah" kutawarkan rokok ke Lukman sambil kunyalakan batang rokokku sendiri. Kutaruh bungkus rokok di meja. Sepertinya Lukman masih belum mood.
"Kamu gak sadar ta dia ceramah apa tadi ? cok !"
"Iya ngerti, sudah lah. Buat apa juga marah-marah"
Lukman diam sebentar. Diambilnya gelas lalu diisi dengan air dari galon. Sepertinya dia sudah agak tenang.
"Isi yang banyak sekalian. Aku juga haus"
Hari ini adalah hari pertama tarawih yang kulakukan di luar tempat tinggalku, begitu juga dengan Lukman. Aku dan sahabatku Lukman adalah perantau dari kota kecil, disebut desa tidak begitu jadul disebut kota juga tidak begitu modern, maka kusebut tempat tinggalku kota kecil. Kami bekerja di kota besar dengan harapan besar layaknya kisah perantauan dramatis pemuda desa yang diceritakan di buku-buku pelajaran sekolah. Pergi merantau, kerja keras di kota, mudik, membahagiakan orang tua, adalah rencana kami, tetapi rencana manusia tidak selalu mulus.
Bulan ini adalah tepat enam bulan kami bekerja di kota besar ini.
Kami bekerja sebagai buruh di pabrik yang sama melalui agen tenaga kerja. Awal bekerja di pabrik ini semua berjalan lancar. Tiga bulan terakhir ada yang ganjil. Gaji belum dibayarkan, tetapi kami tetap disuruh bekerja. Ada isu kalau pabrik akan bangkrut, ada yang bilang bahwa pabrik akan digabung dengan pabrik lain. Entah mana yang benar yang jelas kami dijanjikan bahwa setelah hari raya idul fitri, gaji akan dibayar semua beserta THRnya. Semoga bukan janji palsu.
Bekerja tanpa dibayar selama tiga bulan adalah hal yang berat. Kecewa sudah pasti. Dan yang paling kecewa diantara kami berdua adalah Lukman. Demi mudik, dua bulan yang lalu Lukman bertemu Pak Burhan, bapak kos kami, untuk memohon ditangguhkan dulu biaya kos kami sampai setelah lebaran. Lukman pun bercerita tentang kesusahan kami. Walaupun, permintaan itu ditolak Pak Burhan dengan alasan tidak ada jaminan bahwa setelah lebaran, kos akan dibayar. Dia juga bilang kalau kami tidak bisa bayar kos, lebih baik pulang kampung saja. Oke Baik.
"Bisa ngaji juga kalian ya. Kukira hanya ktp. Haha" Pak Burhan bicara di pintu masuk. Kuhentikan ngajiku, tetapi tidak kujawab basa-basi Pak Burhan. Kulihat senyumnya sinis.
Pak Burhan menuju meja. diambilnya koran di bawah meja. Koran yang diambilnya itu sudah basi, berita seminggu yang lalu mungkin. Ada juga ya manusia yang suka berita basi.
"dasar sampah masyarakat" gumaman Pak Burhan itu membuat mukaku merah panas. Ingin rasanya kulemparkan asbak kaleng di atas meja ini ke kepalanya.
"Iya Pak ?" Lukman yang daritadi hape-an sambil tiduran dan menggunakan kakiku sebagai bantal pun bangun.
"Sampahnya kalau sudah selesai dibersihkan !" jawab Pak Burhan sambil melengos masuk ke dalam rumah.
"ustad sampah, kok bisa orang seperti dia jadi ustad, sok ngomong berlomba-lomba dalam kebaikan tapi kelakuan sendiri seperti kotoran" Lukman bicara pelan sambil melihat Pak Burhan dari belakang.
Hari ini kami baru mengetahui bahwa Pak Burhan adalah seorang ustad.
-------- ======= --------
"Jualan sore Pak Pardi ? kok baru nggoreng ?" tanyaku basa-basi ketika pulang kerja.
"iya mas Bintang, kalau jualan di pagi hari gak ada yang beli, masa orang puasa beli gorengan di pagi hari, warung-warung juga banyak yang tutup mas, hahaha" jawab Pak Pardi dengan bercanda.
Pak Pardi adalah penjual gorengan di depan kos kami. Gorengan yang dibuatnya enak, karena itu setiap pulang kerja kami selalu membeli dagangannya. Saat gaji kami ditahan pabrik, kami jadi jarang membeli gorengannya demi penghematan. Walaupun begitu, setiap dua atau tiga hari sekali Pak Pardi selalu memberi kami gorengan gratis.
Kami cukup akrab dengan Pak Pardi setelah kejadian itu. Setiap malam kami cerita banyak hal tentang kehidupan kami dan tempat tinggal kami. Demikian juga Pak Pardi. Kami mengetahui bahwa Pak Pardi mempunyai dua orang anak, SMP kelas 1 dan SD kelas 3. Dari sisi ekonomi, penghasilan yang dia dapatkan sedikit di bawah kami kadang juga tidak sampai setengah kami. Tetapi dia selalu berkecukupan.
Pak Pardi juga terkadang mengingatkan bahwa kehidupan di tempat kami mungkin berbeda dengan di kota ini. Kebiasaan, orang-orangnya ataupun lainnya bisa berbeda. Dia menyarankan agar kami menyesuaikan lingkungan di sini.
Kami masuk kosan, sebelumnya aku melihat Pak Burhan menyuruh anak laki-lakinya untuk mengantar makanan kotakan, entah kemana.
Kami buka puasa di kosan. lalu pergi ke masjid untuk solat magrib. Setelah solat magrib kami diberi makanan kotakan, di tempat kami, takjil gratis yang mewah seperti ini jarang. Aku diberi satu oleh pengurus masjid, kuterima, tetapi Lukman tidak mau. Ketika kami keluar masjid, di halaman masjid sudah banyak anak kecil bermain-main, sepertinya mereka menunggu sesuatu.
"Kenapa gak ambil kotakan di masjid ? kan gratis" tanyaku ketika sampai kosan.
"kamu tau nggak itu kotakan dari siapa ?"
"Pak Burhan kan"
"Makanya itu aku gak mau"
"Wih ayam bakar, mantap nih" kotakan kubuka. "kamu sih nggak mau nerima kotakan mayan ayam bakar, malah beli makan sendiri hmm"
"Orang kayak Pak Burhan baiknya pas ramadan aja, dapat pahala berkali-kali lipat gitu. Di luar ramadan, ya pelit lagi"
Kudengarkan kekesalan Lukman sambil makan, menurutku makanan dari siapapun adalah berkah.
"Mungkin kalau ramadan tidak memberikan pahala berkali-kali lipat, dia juga males buat nyumbang kotakan gitu"
"daripada dia buat kotakan mewah pas ramadan doang, kan mending dia buat nasi bungkusan aja, jadi di luar ramadan bisa ngasih terus"
"lagian di daerah sini orangnya juga banyak yang mampu secara ekonomi, jadi buat apa, mubadzir makanan kayak gini"
"kalau surga neraka gak ada, dia pasti gak bakal berbuat baik"
"Hus, nyocot ae koyok emak-emak, nasimu keburu basi" sambil kujejalkan semangka ke mulutnya.
"cok"
Sepertiga buat makanan, sepertiga buat air, sepertiga buat udara. makanan dan air sudah masuk, yang terakhir tentu rokok.
"aku mau tarawih di masjid sebelah aja" Lukman membuka omongan
"kenapa ?"
"tanya lagi, orang munafik kamu dengerin, mau jadi apa ?"
kali ini aku sepakat dengan Lukman, akhirnya kami memilih tarawih di masjid sebelah. Di sini penceramahnya bukan Pak Burhan.
------ ======== ---------
Hari ini adalah hari keempat puasa. pas hari libur kerja juga. Hari ini terasa sangat panas sekali. Kami punya rencana untuk buka puasa di tengah kota, mencari suasana, cuci mata sekalian. Setelah Asharan, kami bersiap untuk ngabuburit. Jam setengah lima berangkat. Ketika akan berangkat, kami berpapasan dengan Pak Pardi.
"Itu apa Pak ?" tanyaku
"kotakan gini lho"
"nasi kotak ?"
"bukan, nasi kaleng"
"Hahahaha"
"nasi kuning isinya"
"punya siapa Pak ?"
"ya punya saya, mau dibawa ke mesjid"
"owala"
"ngapain sih Pak nganterin gitu-gituan ?" Lukman yang selesai mengeluarkan motor ikutan nimbrung.
"lho mas Lukman ini gimana, di bulan ramadan ini kita harus berbuat kebaikan mas, bener gak mas Bintang ?" Pak Pardi mencari teman untuk pendapatnya.
"tapi kan pak, orang-orang di sini juga banyak yang mampu, mereka beli sendiri kan bisa" Lukman buru-buru menjawab
"saya taunya berbuat baik ya begini ini mas, hahaha"
"yah, kan sudah banyak Pak orang yang ngasih makanan kotakan ke masjid, daripada mubadzir lho gak ada orang yang makan, ini ibarat menggarami air laut Pak, eman"
"sampeyan ini ngomong apa sih mas, gak paham saya, yang makan bukan orang dewasa mas, tapi anak-anak, hahaha"
"hah ?"
"banyak anak kecil yang gak dapat kotakan soalnya mas, kasihan kan mereka juga puasa lho, masak yang orang gede-gede aja yang dikasih"
Lukman diam.
"Ya sudah mas, saya mau nganterin kotakan dulu ya"
"iya Pak, monggo silakan, kami juga mau ngabuburit" jawabku
"hati-hati mas"
Ketika duduk-duduk di taman tengah kota aku memikiran percakapan kami dengan Pak Pardi. Ketika melihat perilakunya, aku malu kepada diriku sendiri. Lukman juga sepertinya iya, terlihat dia lebih banyak diam. Sore ini, kami menunggu azan magrib sambil dengan tidak banyak bicara.