Kamis, 31 Desember 2015

Selamat Datang 2016 ?

Sunrise terakhir 2015, Sunset terakhir 2015, breakfast terakhir 2015, dinner terakhir 2015, dan berbagai apapun yang dipost oleh beberapa teman di media sosial pada akhir 2015.

Pergantian tahun memang menjadi sebuah momen bagi banyak orang untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan di akhir tahun ini dan tahun depan tentunya. Ada yang bakar-bakar, ada yang melihat pesta kembang api, ada yang nongkrong, ada yang konvoi, ada yang ngopi sambil ngobrol ditemani sebungkus rokok, dan banyak kegiatan lainnya.

Langit biru berubah menjadi merah. Surabaya maghrib ini berbeda dengan tahun lalu, suara rong-rongan konvoi motor itu sudah tidak banyak lagi karena memang sudah ditindak oleh polisi. Jalan pun serasa lebih lenggang ketika berangkat ke rumah seorang kawan. Banyak yang berubah di Surabaya tahun ini, suara terompet di jalan pun tidaklah seramai dulu. Yang ada di magrib itu hanyalah seperti keramaian kendaraan bermotor pada hari-hari kerja biasa.

Di halaman facebook dan instagram, terlihat banyak sekali meme yang bertemakan resolusi 2016,
New me in 2016, bla bla bla
I hope 2016 , bla bla bla
In 2016 i will, bla bla
Ada pula yang antitesis dari meme-meme tersebut misalnya,
Bla bla bla in 2016, bullshit
Ada juga meme-meme lelucon tentang 2016,
Kapan kawin ?
Ini 2016, lu masih jomblo aja ?
Hahaha,  😅

Tahun baru adalah momen untuk perubahan menjadi lebih baik ?
Mungkin banyak diantara kita yang memang berdoa, berharap agar tahun 2016 bisa menjadi lebih baik, rejeki lancar, tetap sehat, dapat jodoh, dapat kerja, dapat sekolah lagi, dan banyak harapan baik lainnya.

Tetapi apakah sebuah perubahan harus menunggu tahun baru ? Menunggu sebuah momen yang pas untuk berubah ?
Bukannya tahun baru sama seperti hari-hari lainnya?

Manusia memang memerlukan momen untuk mengingat, disadari atau tidak
Sama seperti hari ini, 1 Januari 2016, dimana bumi berada di titik tertentu pada orbit matahari.
Sebagai akhiran untuk masa yang lalu, dan sebagai awalan untuk masa yang baru.

Jadi, bagaimana acara tahun baru mu ?
Kalau saya sih, ngopi sambil nyangkruk, lalu melihat kembang api di langit Kota Surabaya.
kemudian nyangkruk lagi menunggu pagi untuk melihat matahari terbit pertama kali di tahun 2016.

Selasa, 08 September 2015

Hari raya qurban: Sekedar Tradisi, berbagi atau menyogok Tuhan ?

 
                Sore itu, Sesampai di rumah, aku ganti pakaian, lalu makan, lalu duduk-duduk di kursi sambil melototin gadget. Begitulah sekilas kegiatan(monoton)ku ketika pulang ke rumah. Di dekatku, ada ibuku yang juga duduk-duduk disitu, juga sedang asyik melototin gadget sambil mendengarkan siaran radio lokal. Sedang asyik-asyiknya membuka media sosial yang berisi gambar-gambar, Perhatianku teralih ketika ibuku tiba-tiba memulai obrolan. 

I (ibu) , A (aku)

I : Dik, ini mau hari raya qurban, ayo kamu sisihkan uang buat beli hewan qurban
A: ..... (masih mikir)
I: kamu sisihkan uang (Rp.sekian) buat patungan beli hewan qurban, kamu kan sudah punya uang sendiri, jadi wajib hukumnya buat berqurban
A: ..... (oh iya habis ini hari raya qurban)
I: ini nanti patungan sama tetangga, dikumpulin dulu uangnya. Sudah, kamu gk usa khawatir kalau berqurban, nanti dikasih gantinya yang lebih baik sama Gusti Allah. Qurban itu nantinya diberi ke orang-orang yang tidak mampu dan yang jarang makan daging.
A: (oh, oke aku mulai ngeh) buk kalau berqurban itu emang harus beli sapi atau kambing ta ?
I: lho ya iya
A: kalau aku qurbannya gk dibeliin hewan qurban gkpapa ta ? toh itu nanti orang-orang yang dikasih daging, toh dijual lagi dagingnya.
I: maksudmu di kasih uang gitu ? kan masih ada orang-orang yang gk dijual dagingnya, masih ada yang dikonsumsi sendiri.
A: ya gk mesti uang sih buk, bisa apa atau apa gitu (belum kepikiran sebenernya, bentuk  lain itu seperti apa)
I: sudahlah percaya, kalau kamu berqurban, nanti bakal dibales lebih baik sama Gusti Allah

Ibu mulai meyakinkan anaknya yang menurutnya terlihat ragu-ragu untuk berqurban.  

A: ......... (“gk dibales ya gkpapa”, kalimat itu mau keluar, tapi gk jadi)
A: ya kalau mau berbagi, ya berbagi aja sih Buk,
I: nah, sudah tau gitu lho

Hening sebentar,

A: buk, kenapa di Indonesia kalau berqurban kok gak pake Onta ? kan di Arab sana , kalau berqurban pakai Onta,
I: ya soalnya di Indonesia gk ada Onta, hahaha
A: berarti berqurban ayam gakpapa ?
I: yo gk boleh, hahaha, ada ada aja kamu ini
A: hahaha, maksudku buk, berqurban ayam yang jumlahnya setara harganya dengan sapi atau kambing . Kan gakpapa itu buk
I: yo tetep aja gk boleh, sudah syariatnya begitu
A: kenapa kok gk boleh buk, toh sama aja harganya
I: ya tetep gk boleh, dari dulu sudah begitu,
A: ..... 

Lalu kami ngobrolin hal lain, tetapi bukan cerita nabi-nabi, bisa panjang nanti, hehehe. (oh iya, cuplikan obrolan diatas sebenarnya oborolan bahasa Jawa yang sudah ditranslate ke Bahawa Indonesia yang baik dan tidak benar, halah.) 

                Aku bertanya-tanya, mungkin tidak jauh beda pertanyaannya dengan orang-orang yang mempertanyakan berqurban,
                apa iya berqurban itu cuma tradisi menyembelih hewan qurban lalu membagi-bagikan ke orang-orang yang kurang mampu.
                Apa iya dengan berqurban mampu mensucikan harta kita ? kalau begitu enak dong jadi koruptor, tinggal berqurban, suci hartanya.
                apa iya berqurban itu merupakan simbol untuk melepaskan hal keduniawian ?
                 
Menurutku, hari raya qurban memang merupakan tradisi perayaan umat muslim, tradisi baik, mengingatkan kembali akan nilai berbagi terhadap sesama manusia. Apakah berbagi harus menunggu hari raya raya qurban ? jawabannya mungkin sama seperti perayaan hari raya idul fitri, bahwa kembali ke fitrah tidak harus menunggu hari raya idul fitri.

Jumat, 04 September 2015

Kopi Kaleng VS Kopi Seduh


                Sudah setahun aku tinggal di Kota Gresik, Kota yang dijuluki Kota Santri, aku mulai terbiasa dengan kota ini. Mulai dari orang-orangnya, panas terik di siang harinya, makanan-makanannya, cara orang-orangnya berkendara, warung kopi warung kopinya sampai polusi-polusinya. Ketika pertama kali tiba di kota Gresik, jangan berharap kesan pertama yang menyenangkan. Apalagi jika kamu mengunjunginya di siang hari. Hawa panas ditambah polusi debu dari kendaraan-kendaraan besar yang melintas, akan membuatmu berpikir dua kali untuk mengunjungi Kota Gresik sekali lagi. Hahaha.

                
              Untungnya, kesan pertamaku terhadap kota ini cukup menyenangkan. Diajak oleh temanku untuk menikmati secangkir kopi seduh, yang katanya merupakan kopi terbaik yang ada di kota Gresik. Aku menikmati salah satu kopi seduh terbaik di kota ini. Setidaknya hal itulah yang membuat kesan pertamaku terhadap Kota Gresik yang penuh polusi udara, tertutupi oleh nikmatnya secangkir kopi hitam pada saat itu



Warung kopi

Empat bulan pertama bertempat tinggal di kota Gresik, hal yang sering aku lakukan sepulang kerja atau hari libur adalah pergi ke warung kopi bersama kawan-kawan kerjaku. Istilah yang populer digunakan di sini adalah “ngopi”, maksudnya ngopi ke warung kopi, hehe. Dari sini lah aku perhatikan kalau di Gresik memang banyak warung kopi. Hampir di setiap tikungan kota ini pasti ada warung kopi. Mulai dari warung kopi yang biasa-biasa, warung kopi lesehan, warung kopi yang mirip kafe (soalnya nggak ada mie gorengnya), warung kopi WiFi sampai warung kopi pangku (waini). Jika ada orang yang menyebut Jogjakarta sebagai kota angkringan, maka aku akan menyebut Gresik sebagai kota warung kopi.


Harga kopi pun tidak mahal-mahal amat, cukup membawa uang sepuluh ribu perak, kamu bisa menikmati segala jenis kopi (biasanya harganya 3000-5000 rupiah), mulai dari kopi seduh sampai kopi sachetan kita bisa menikmatinya. Kecuali kamu ‘ngopi’ di warung kopi pangku, maka kamu harus membawa uang minimal 20rb, hanya untuk menikmati segelas kopi sachet (harganya hampir setara dengan kafe yang ada di Surabaya, hahaha).


Gresik dan warung kopi memang tidak bisa dipisahkan. Mulai dari yang tua sampai muda, para pekerja proyek berpakaian kucel sampai bos-bos berdasi berpakaian necis, anak-anak SMA sampai para mahasiswa, ulama sampai orang biasa pun, setidaknya pernah “ngopi” di warung kopi.


Di warung kopi-warung kopi inilah aku bisa melihat orang-orang merasa hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di pabrik-pabrik atau kantor-kantor kota ini. Setelah delapan jam atau lebih menjadi robot di tempat mereka bekerja. Bercengkrama dengan penuh ekspresi, menjadi manusia seutuhnya. Menikmati harumnya aroma kopi yang disuguhkan, sekedar duduk-duduk menikmati suasana warung kopi, menikmati sebatang rokok dengan tuma’ninah ataupun diskusi ngalor-ngidul menjadi kekhusyukan tersendiri bagi para pengunjung warung kopi.


Itu aja sih yang kubahas di tulisan singkat ini. (Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok gak nyambung ya, judul sama isinya? Hahaha. Mungkin terinspirasi model beberapa media informasi digital yang isinya gak nyambung sama judulnya  atau yang banyak menebar kebencian). Ah, kalau saja generasi merunduk itu mau berpikir sejenak dan “ngopi’. 


                Ada quote yang cukup populer tentang kopi. Ngopi sek ben gak salah paham(ngopi dulu biar tidak salah paham). Mungkin para generasi merunduk perlu memperbanyak ‘ngopi’ biar gak ada salah paham di antara kita . eissh