Jumat, 04 September 2015

Kopi Kaleng VS Kopi Seduh


                Sudah setahun aku tinggal di Kota Gresik, Kota yang dijuluki Kota Santri, aku mulai terbiasa dengan kota ini. Mulai dari orang-orangnya, panas terik di siang harinya, makanan-makanannya, cara orang-orangnya berkendara, warung kopi warung kopinya sampai polusi-polusinya. Ketika pertama kali tiba di kota Gresik, jangan berharap kesan pertama yang menyenangkan. Apalagi jika kamu mengunjunginya di siang hari. Hawa panas ditambah polusi debu dari kendaraan-kendaraan besar yang melintas, akan membuatmu berpikir dua kali untuk mengunjungi Kota Gresik sekali lagi. Hahaha.

                
              Untungnya, kesan pertamaku terhadap kota ini cukup menyenangkan. Diajak oleh temanku untuk menikmati secangkir kopi seduh, yang katanya merupakan kopi terbaik yang ada di kota Gresik. Aku menikmati salah satu kopi seduh terbaik di kota ini. Setidaknya hal itulah yang membuat kesan pertamaku terhadap Kota Gresik yang penuh polusi udara, tertutupi oleh nikmatnya secangkir kopi hitam pada saat itu



Warung kopi

Empat bulan pertama bertempat tinggal di kota Gresik, hal yang sering aku lakukan sepulang kerja atau hari libur adalah pergi ke warung kopi bersama kawan-kawan kerjaku. Istilah yang populer digunakan di sini adalah “ngopi”, maksudnya ngopi ke warung kopi, hehe. Dari sini lah aku perhatikan kalau di Gresik memang banyak warung kopi. Hampir di setiap tikungan kota ini pasti ada warung kopi. Mulai dari warung kopi yang biasa-biasa, warung kopi lesehan, warung kopi yang mirip kafe (soalnya nggak ada mie gorengnya), warung kopi WiFi sampai warung kopi pangku (waini). Jika ada orang yang menyebut Jogjakarta sebagai kota angkringan, maka aku akan menyebut Gresik sebagai kota warung kopi.


Harga kopi pun tidak mahal-mahal amat, cukup membawa uang sepuluh ribu perak, kamu bisa menikmati segala jenis kopi (biasanya harganya 3000-5000 rupiah), mulai dari kopi seduh sampai kopi sachetan kita bisa menikmatinya. Kecuali kamu ‘ngopi’ di warung kopi pangku, maka kamu harus membawa uang minimal 20rb, hanya untuk menikmati segelas kopi sachet (harganya hampir setara dengan kafe yang ada di Surabaya, hahaha).


Gresik dan warung kopi memang tidak bisa dipisahkan. Mulai dari yang tua sampai muda, para pekerja proyek berpakaian kucel sampai bos-bos berdasi berpakaian necis, anak-anak SMA sampai para mahasiswa, ulama sampai orang biasa pun, setidaknya pernah “ngopi” di warung kopi.


Di warung kopi-warung kopi inilah aku bisa melihat orang-orang merasa hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di pabrik-pabrik atau kantor-kantor kota ini. Setelah delapan jam atau lebih menjadi robot di tempat mereka bekerja. Bercengkrama dengan penuh ekspresi, menjadi manusia seutuhnya. Menikmati harumnya aroma kopi yang disuguhkan, sekedar duduk-duduk menikmati suasana warung kopi, menikmati sebatang rokok dengan tuma’ninah ataupun diskusi ngalor-ngidul menjadi kekhusyukan tersendiri bagi para pengunjung warung kopi.


Itu aja sih yang kubahas di tulisan singkat ini. (Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok gak nyambung ya, judul sama isinya? Hahaha. Mungkin terinspirasi model beberapa media informasi digital yang isinya gak nyambung sama judulnya  atau yang banyak menebar kebencian). Ah, kalau saja generasi merunduk itu mau berpikir sejenak dan “ngopi’. 


                Ada quote yang cukup populer tentang kopi. Ngopi sek ben gak salah paham(ngopi dulu biar tidak salah paham). Mungkin para generasi merunduk perlu memperbanyak ‘ngopi’ biar gak ada salah paham di antara kita . eissh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar