Sudah
setahun aku tinggal di Kota Gresik, Kota yang dijuluki Kota Santri, aku mulai
terbiasa dengan kota ini. Mulai dari orang-orangnya, panas terik di siang
harinya, makanan-makanannya, cara orang-orangnya berkendara, warung kopi warung
kopinya sampai polusi-polusinya. Ketika pertama kali tiba di kota Gresik,
jangan berharap kesan pertama yang menyenangkan. Apalagi jika kamu
mengunjunginya di siang hari. Hawa panas ditambah polusi debu dari
kendaraan-kendaraan besar yang melintas, akan membuatmu berpikir dua kali untuk
mengunjungi Kota Gresik sekali lagi. Hahaha.
Untungnya,
kesan pertamaku terhadap kota ini cukup menyenangkan. Diajak oleh temanku untuk
menikmati secangkir kopi seduh, yang katanya merupakan kopi terbaik yang ada di
kota Gresik. Aku menikmati salah satu kopi seduh terbaik di kota ini. Setidaknya
hal itulah yang membuat kesan pertamaku terhadap Kota Gresik yang penuh polusi
udara, tertutupi oleh nikmatnya secangkir kopi hitam pada saat itu.
Warung kopi
Empat bulan pertama bertempat
tinggal di kota Gresik, hal yang sering aku lakukan sepulang kerja atau hari
libur adalah pergi ke warung kopi bersama kawan-kawan kerjaku. Istilah yang
populer digunakan di sini adalah “ngopi”, maksudnya ngopi ke warung kopi, hehe.
Dari sini lah aku perhatikan kalau di Gresik memang banyak warung kopi. Hampir di
setiap tikungan kota ini pasti ada warung kopi. Mulai dari warung kopi yang
biasa-biasa, warung kopi lesehan, warung kopi yang mirip kafe (soalnya nggak
ada mie gorengnya), warung kopi WiFi sampai warung kopi pangku (waini). Jika ada
orang yang menyebut Jogjakarta sebagai kota angkringan, maka aku akan menyebut
Gresik sebagai kota warung kopi.
Harga kopi pun tidak mahal-mahal
amat, cukup membawa uang sepuluh ribu perak, kamu bisa menikmati segala jenis
kopi (biasanya harganya 3000-5000 rupiah), mulai dari kopi seduh sampai kopi
sachetan kita bisa menikmatinya. Kecuali kamu ‘ngopi’ di warung kopi pangku,
maka kamu harus membawa uang minimal 20rb, hanya untuk menikmati segelas kopi
sachet (harganya hampir setara dengan kafe yang ada di Surabaya, hahaha).
Gresik dan warung kopi memang
tidak bisa dipisahkan. Mulai dari yang tua sampai muda, para pekerja proyek berpakaian
kucel sampai bos-bos berdasi berpakaian necis, anak-anak SMA sampai para mahasiswa,
ulama sampai orang biasa pun, setidaknya pernah “ngopi” di warung kopi.
Di warung kopi-warung kopi inilah
aku bisa melihat orang-orang merasa hidup, terutama bagi mereka yang bekerja di
pabrik-pabrik atau kantor-kantor kota ini. Setelah delapan jam atau lebih
menjadi robot di tempat mereka bekerja. Bercengkrama dengan penuh ekspresi,
menjadi manusia seutuhnya. Menikmati harumnya aroma kopi yang disuguhkan, sekedar
duduk-duduk menikmati suasana warung kopi, menikmati sebatang rokok dengan tuma’ninah
ataupun diskusi ngalor-ngidul menjadi kekhusyukan tersendiri bagi para pengunjung
warung kopi.
Itu aja sih yang kubahas di
tulisan singkat ini. (Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok gak nyambung ya,
judul sama isinya? Hahaha. Mungkin terinspirasi model beberapa media informasi digital
yang isinya gak nyambung sama judulnya atau
yang banyak menebar kebencian). Ah, kalau saja generasi merunduk itu mau
berpikir sejenak dan “ngopi’.
Ada quote yang cukup populer tentang kopi. Ngopi
sek ben gak salah paham(ngopi dulu biar tidak salah paham). Mungkin para
generasi merunduk perlu memperbanyak ‘ngopi’ biar gak ada salah paham di antara
kita . eissh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar